Di dunia maya terdapat
peraturan yang disebut dengan Cyberlaw, yang berasal dari dua kata yaitu cyber
(dunia maya) dan law (hukum). Peraturan ini diberlakuan karena dunia maya tidak
hanya berupa Informasi yang berguna tapi juga terdapat tindak kejahatan.
Hukum yang ada pada dunia maya berbeda sebutannya, di antaranya adalah
CYBERLAW, COMPUTER CRIME LAW
& COUNCILE OF EUROPE CONVENTION ON CYBERCRIME. Walaupun maksud dari ketiga
hukum di atas sama, tapi terdapat perbedaan yang sangat besar. Perbedaannya
terdapat pada wilayah hukum itu berjalan.Seperti contoh sebagai beriku.
1. Cyber Law
Cyber Law adalah sebuah
istilah yang digunakan untuk merujuk pada hukum yang tumbuh dalam medium
cyberspace. Cyber law merupakan sebuah istilah yang berhubungan dengan masalah
hukum terkait penggunaan aspek komunikatif, transaksional, dan distributif,
dari teknologi serta perangkat informasi yang terhubung ke dalam sebuah
jaringan. Didalam karyanya yang berjudul Code and Other Laws of Cyberspace,
Lawrence Lessig mendeskripsikan empat mode utama regulasi internet, yaitu:
- Law (Hukum) East Coast Code (Kode Pantai Timur) standar, dimana kegiatan di internet sudah merupakan subjek dari hukum konvensional. Hal-hal seperti perjudian secara online dengan cara yang sama seperti halnya secara offline.
- Architecture (Arsitektur)West Coast Code (Kode Pantai Barat), dimana mekanisme ini memperhatikan parameter dari bisa atau tidaknya informasi dikirimkan lewat internet. Semua hal mulai dari aplikasi penyaring internet (seperti aplikasi pencari kata kunci) ke program enkripsi, sampai ke arsitektur dasar dari protokol TCP/IP, termasuk dalam kategori Norms (Norma)Norma merupakan suatu aturan, di dalamlregulasi ini. setiap kegiatan akan diatur secara tak terlihat lewat aturan yang terdapat di dalam komunitas, dalam hal ini oleh pengguna internet.
- Market (Pasar)Sejalan dengan regulasi oleh norma di atas, pasar juga mengatur beberapa pola tertentu atas kegiatan di internet. Internet menciptakan pasar informasi virtual yang mempengaruhi semua hal mulai dari penilaian perbandingan layanan ke penilaian saham.
2. Computer Crime Act (Malaysia)
Pada tahun 1997 Malaysia
telah mengesahkan dan mengimplementasikan beberapa perundang-undangan yang
mengatur berbagai aspek dalam cyberlaw seperti UU Kejahatan Komputer, UU
Tandatangan Digital, UU Komunikasi dan Multimedia, juga perlindungan hak cipta
dalam internet melalui amandemen UU Hak Ciptanya. The Computer Crime Act mencakup,
sbb:
- Menggunakan komputer untuk fungsi yang lain
- Memasuki
program rahasia orang lain melalui komputernya
- Mengubah /
menghapus program atau data orang lain
- Menyalahgunakan
program / data orang lain demi kepentingan pribadi
3. Council of Europe Convention on Cyber Crime
Council of Europe Convention on Cyber Crime
(Dewan Eropa Konvensi Cyber Crime), yang berlaku mulai pada bulan Juli 2004,
adalah dewan yang membuat perjanjian internasional untuk mengatasi kejahatan
komputer dan kejahatan internet yang dapat menyelaraskan hukum nasional,
meningkatkan teknik investigasi dan meningkatkan kerjasama internasional.
berisi Undang-Undang Pemanfaatan Teknologi Informasi (RUU-PTI) pada intinya
memuat perumusan tindak pidana. Council of Europe Convention on Cyber Crime ini
juga terbuka untuk penandatanganan oleh negara-negara non-Eropa dan menyediakan
kerangka kerja bagi kerjasama internasional dalam bidang ini. Konvensi ini
merupakan perjanjian internasional pertama pada kejahatan yang dilakukan lewat
internet dan jaringan komputer lainnya, terutama yang berhubungan dengan
pelanggaran hak cipta, yang berhubungan dengan penipuan komputer, pornografi
anak dan pelanggaran keamanan jaringan. Hal ini juga berisi serangkaian
kekuatan dan prosedur seperti pencarian jaringan komputer dan intersepsi sah.
Tujuan utama adanya konvensi ini adalah untuk membuat kebijakan kriminal umum
yang ditujukan untuk perlindungan masyarakat terhadap Cyber Crime melalui
harmonisasi legalisasi nasional, peningkatan kemampuan penegakan hukum dan
peradilan, dan peningkatan kerjasama internasional. Selain itu konvensi ini
bertujuan terutama untuk:
- Harmonisasi
unsur-unsur hukum domestik pidana substantif dari pelanggaran dan ketentuan
yang terhubung di bidang kejahatan cyber.
- Menyediakan form
untuk kekuatan hukum domestik acara pidana yang diperlukan untuk investigasi
dan penuntutan tindak pidana tersebut, serta pelanggaran lainnya yang dilakukan
dengan menggunakan sistem komputer atau bukti dalam kaitannya dengan bentuk
elektronik
- Mendirikan cepat dan efektif rezim kerjasama
internasional.
sumber:
dewi_anggraini.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/.../Perbandingan+Cyberlaw.pd..
UU No. 19 Tahun 2002
Hak
Cipta adalah hak khusus bagi pencipta untuk mengumumkan atau memperbanyak
ciptaannya. Termasuk ciptaan yang dilindungi adalah ciptaan dalam bidang ilmu
pengetahuan,
sastra dan seni.
Pada
UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyatakan bahwa Hak Cipta adalah hak
yang mengatur karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra
yang dituangkan dalam bentuk yang khas dan diberikan pada ide, prosedur, metode
atau konsep yang telah dituangkan dalam wujud tetap. Untuk mendapatkan
perlindungan melalui Hak Cipta, tidak ada keharusan untuk mendaftarkan.
Pendaftaran hanya semata-mata untuk keperluan pembuktian belaka. Dengan
demikian, begitu suatu ciptaan berwujud, maka secara otomatis Hak Cipta melekat
pada ciptaan tersebut. Biasanya publikasi dilakukan dengan mencantumkan tanda
Hak Cipta ©. Perlindungan hukum terhadap pemegang Hak Cipta dimaksudkan sebagai
upaya untuk mewujudkan iklim yang lebih baik bagi tumbuh dan berkembangnya
semangat mencipta di bidang ilmu pengetahuan, seni dan sastra.
Lingkup Hak Cipta
a. Ciptaan Yang Dilindungi
Pasal
12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menetapkan
secara rinci ciptaan yang dapat dilindungi, yaitu :
1. Buku, program komputer, pamflet,
perwajahan (lay out) karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis
lain.
2. Ceramah, kuliah, pidato, dan Ciptaan
lain yang sejenis dengan itu alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan
dan ilmu pengetahuan
3. Lagu atau musik dengan atau tanpa
teks
4. Drama atau drama musikal, tari,
koreografi, pewayangan, dan pantomime
5. Seni rupa dalam segala bentuk seperti
seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase,
dan seni terapan, Arsitektur, Peta, Seni batik, Fotografi, Sinematografi
6. Terjemahan, tafsir, saduran, bunga
rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalih wujudan.
b. Ciptaan Yang Tidak Diberi Hak Cipta
Sebagai
Pengecualian Terhadap Ketentuan Di Atas, Tidak Diberikan Hak Cipta Untuk Hal -
Hal Berikut :
1. Hasil rapat terbuka lembaga-lembaga
Negara
2. Peraturan perundang-undangan
3. Pidato kenegaraan atau pidato pejabat
Pemerintah
4. Putusan pengadilan atau penetapan
hakim
5. Keputusan badan arbitrase atau
keputusan badan-badan sejenis lainnya.
Prosedur Pendaftaran Haki
- Mengajukan permohonan ke DJ HKI/Kanwil secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan melampirkan : Foto copy KTP yang dilegalisir. Bagi pemohon yang berasal dari luar negeri sesuai dengan ketentuan undang-undang harus memilih tempat kedudukan di Indonesia, biasanya dipilih pada alamat kuasa hukumnya; Foto copy akte pendirian badan hukum yang telah disahkan oleh notaris apabila permohonan diajukan atas nama badan hukum; Foto copy peraturan pemilikan bersama apabila permohonan diajukan atas nama lebih dari satu orang (merek kolektif); Surat kuasa khusus apabila permohonan pendaftaran dikuasakan; Tanda pembayaran biaya permohonan; 25 helai etiket merek (ukuran max 9×9 cm, min. 2×2 cm); surat pernyataan bahwa merek yang dimintakan pendaftaran adalah miliknya.
- Mengisi formulir permohonan yang memuat : Tanggal, bulan, dan tahun surat permohonan Nama, alamat lengkap dan kewarganegaraan pemohon; Nama dan alamat lengkap kuasa apabila permohonan diajukan melalui kuasa; dan; Nama negara dan tanggal penerimaan permohonan yang pertama kali dalam hal permohonan diajukan dangan hak prioritas
- Membayar biaya permohonan pendaftaran merek. PERSYARATAN PERMOHONAN HAK CIPTA 1. Mengisi formulir pendaftaran ciptaan rangkap tiga (formulir dapat diminta secara cuma-cuma pada Kantor 2. Wilayah), lembar pertama dari formulir tersebut ditandatangani di atas materai Rp.6.000 (enam ribu rupiah); 3. Surat permohonan pendaftaran ciptaan mencantumkan: Nama, kewarganegaraan dan alamat pencipta; Nama, kewarganegaraan dan alamat pemegang hak cipta; nama, kewarganegaraan dan alamat kuasa; jenis dan judul ciptaan; Tanggal dan tempat ciptaan diumumkan untuk pertama kali; Uraian ciptaan rangkap 4;
- Surat permohonan pendaftaran ciptaan hanya dapat diajukan untuk satu ciptaan;
- Melampirkan bukti kewarganegaraan pencipta dan pemegang hak cipta berupa fotocopy KTP atau paspor.
- Apabila pemohon badan hukum, maka pada surat permohonannya harus dilampirkan turunan resmi akta pendirian badan hukum tersebut
- Melampirkan surat kuasa, bilamana permohonan tersebut diajukan oleh seorang kuasa, beserta bukti kewarganegaraan kuasa tersebut
- Apabila permohonan tidak bertempat tinggal di dalam wilayah RI, maka untuk keperluan permohonan pendaftaran ciptaan ia harus memiliki tempat tinggal dan menunjuk seorang kuasa di dalam wilayah RI
- Apabila permohonan pendaftaran ciptaan diajukan atas nama lebih dari seorang dan atau suatu badan hukum, maka nama-nama pemohon harus ditulis semuanya, dengan menetapkan satu alamat pemohon
- Apabila ciptaan tersebut telah dipindahkan, agar melampirkan bukti pemindahan hak
- Melampirkan contoh ciptaan yang dimohonkan pendaftarannya atau penggantinya
- Membayar biaya permohonan pendaftaran ciptaan Rp.200.000, khusus untuk permohonan pendaftaran ciptaan program komputer sebesar Rp.300.000
Perolehan
Hak Cipta
Untuk memperoleh hak cipta, pemegang
hak cipta berdasarkan ketentuan hukum hak cipta bersifat otomatis tatkala
ciptaan diwujudkan secara nyata. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat
(1) UU Hak Cipta yang menyatakan:
Hak
Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis
setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut
perturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan konsepsi perolehan hak cipta,
maka apapun bentuk ciptaannya sepanjang tidak dikategorikan sebagai ciptaan
yang tidak ada hak cipta dan dan diwujudkan secara nyata dalam lingkup bidang
seni,sastra dan ilmu pengetahuan dapat memperoleh hak cipta.
Apabila saat ini ada yang
berpandangan bahwa hak cipta diperoleh melalui mekanisme pendaftaran sebenarnya
merupakan pandangan yang tidak tepat. Pendaftaran ciptaan memang terdapat
pengaturannya. Pengaturan tersebut ditemukan dalam ketentuan Pasal 35 ayat (1),
(2), (3), dan (4) UU Hak Cipta yang menyatakan :
(1) Direktorat Jenderal
menyelenggarakan pendaftaran ciptaan dan dicatat dalam daftar umum ciptaan.
(2) Daftar umum ciptaan tersebut dapat
dilihat oleh setiap orang tanpa dikenai biaya.
(3) Setiap orang dapat memperoleh untuk
dirinya sendiri suatu petikan dari daftar umum ciptaan tersebut dengan dikenai
biaya.
(4) Ketentuan tentang pendaftaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak merupakan kewajiban untuk mendapatkan
hak cipta.
sumber:
http://nan-arief.blogspot.co.id/2016/05/ruang-lingkup-uu-tentang-hak-cipta-dan.html
UU No. 36 Tentang Telekomunikasi
UMUM
Sejak diundangkannya Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
Telekomunikasi, pembangunan dan penyelenggaraan telekomunikasi di tanah air
terbukti telah dapat berperan sebagai salah satu sektor penting dan strategis
dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan
dan keamanan, mencerdaskan kehidupan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan,
memperkukuh persatuan dan kesatuan dalam kerangka wawasan nusantara, serta
memantapkan ketahanan nasional
serta meningkatkan hubungan antar bangsa.
Perubahan lingkungan global dan
perkembangan teknologi telekomunikasi yang berlangsung dengan sangat cepat
telah mendorong terjadinya perubahan mendasar, melahirkan lingkungan telekomunikasi
yang baru, dan perubahan cara pandang dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
termasuk hasil konvergensi dengan teknologi informasi dan penyiaran, sehingga
dipandang perlu menagadakan penataan kembali penyelenggaraan telekomunikasi
nasional.
Penyesuaian dalam penyelenggaraan
telekomunikasi di tingkat nasional sudah merupakan kebutuhan nyata, mengingat
meningkatnya kemampuan sektor swasta dalam penyelenggaraan telekomunikasi,
penguasaan teknologi telekomunikasi, dan keunggulan kompetitif dalam rangka
memenuhi kebutuhan masyarakat.
Perkembangan teknologi telekomunikasi di tingkat internasional
yang diikuti dengan peningkatan penggunaannya sebagai salah satu komoditas
perdagangan yang meiliki nilai komersial tinggi, telah mendorong terjadinya
berbagai kesepakatan multilateral.
Sebagai negara yang aktif dalam membina hubungan antar negara
dan atas dasar kepentingan nasional, keikutsertaan Indonesia dalam berbagai
kesepakatan multilateral menimbulkan berbagai konsekuensi yang harus dihadapi
dan diikuti. Sejak penandatanganan General Agreement on Trade and Services
(GATS) di Marrakesh, Maroko,
pada tanggal 15 April 1994, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang No.
7 Tahun 1994, penyelenggaraan telekomunikasi nasional menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari sistem perdagangan global.
Sesuai dengan prinsip-prinsip perdagangan
global, yang menitikberatkan pada asas perdagangan bebas dan tidak diskriminatif,
Indonesia harus menyiapkan diri untuk menyesuaikan penyelenggaraan telekomunikasi.
Dengan memperhatikan hal tersebut
di atas, maka peran Pemerintah dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi
penentuan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dengan
mengikutsertakan peran masyarakat.
Peningkatan peran masyarakat dalam
penyelenggaraan telekomunikasi tidak mengurangi prinsip dasar yang terkandung
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yaitu
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Oleh karena
itu, hal-hal yang menyangkut pemanfaatan spektrum frekuensi radio dan orbit
satelit yang merupakan sumber daya alam yang terbatas dikuasai oleh negara.
Dengan tetap berpijak pada arah
dan kebijakan pembangunan nasional serta dengan memperhatikan perkembangan
yang berlangsung baik secara nasional maupun internasional, terutama di bidang
teknologi telekomunikasi, norma hukum bagi pembinaan dan penyelenggaraan telekomunikasi
yang diatur dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi
perlu diganti.
Bab 1
Ketentuan Umum
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan:
- Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektromagnetik lainnya;
- Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang memungkinkan bertelekomunikasi;
- Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
- Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan gelombang radio;
- Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
- Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi ;
- Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
- Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan kontrak;
- Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang tidak berdasarkan kontrak;
- Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
- Penyelenggara telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
- Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
- Interkoneksi adalah keterhubungan antarjaringan telekomunikasi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
- Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas tanggungjawabnya di bidang telekomunikasi.
sumber:
http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/penjelasan_uu_telekomunikasi.htm
http://www.radioprssni.com/prssninew/internallink/legal/uu_telekomunikasi.htm
http://kahfiehudson.com/jelaskan-keterbatasan-uu-telekomunikasi-dalam-mengatur-penggunaan-teknologi-informasi/
UU ITE
Implikasi pemberlakuan RUU ITE
Teknologi informasi dan komunikasi adalah peralatan sosial yang penuh daya, yang dapat
membantu atau mengganggu masyarakat dalam banyak cara. Semua tergantung pada cara
penggunaannya, perkembanagan dunia cyber atau dunia teknologi informasi dan kumunikasi
telah menyebabkan perubahan sosial, ekonomi, dan budaya secara signifikan berlangsung
cepat, perubahan peradaban manusia secara global, dan menjadikan dunia ini menjadi tanpa
batas, tidak terbatas oleh garis teritotial suatu negara.
Kehidupan masayarakat modern yang serba cepat menjadikan pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi menjadi sesuatu harga mutlak, menjadi sesuatu kebutuhan primer yang setiap
orang harus terlibat didalamnya kalau tidak mau keluar dari pergaulan masyarakat dunia, tetapi
pemanfa’aatn teknologi informasi dan komunikasi ini tidak selamanya dimanfa’atkan untuk
kesejahtraan, kemajuan dan peradaban manusia saja di sisi lain teknologi informasi dan
komunikasi ini menjadi suatu senjata ampuh untuk melakukan tindakan kejahatan, seperti
marakanya proses prostiutsi, perjudian di dunia maya (internet), pembobolan ATM lewat internet
dan pencurian data-data perusahan lewat internet, kesemuanya termasuk kedalam
penyalahgunaan teknologi informasi dan kumunikasi, atau lebih tepatnya kejahatan
penyalahgunaan transaksi elektronik. Itulah alasannya pemertintah indonesia menggesahkan
UU ITE(Informasi dan Informasi elektronik) untuk mengatur penggunaan teknologi informasi
secara luas dan tearah, demi terciptanya masyrakat elektronik yang selalu menerapkan moral
dan etika dalam seluruh aspek kehidupanya.
Manfaat pelaksanaan UU ITE:
1. Transaksi dan sistem elektronik beserta perangkat pendukungnya mendapat perlindungan
hukum. Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi ekonomi digital dan kesempatan
untuk menjadi penyelenggara Sertifikasi Elektronik dan Lembaga Sertifikasi Keandalan.
2. E-tourism mendapat perlindungan hukum. Masyarakat harus memaksimalkan potensi
pariwisata indonesia dengan mempermudah layanan menggunakan ICT.
3. Trafik internet Indonesia benar-benar dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Masyarakat
harus memaksimalkan potensi akses internet indonesia dengan konten sehat dan sesuai
konteks budaya indonesia
4. Produk ekspor indonesia dapat diterima tepat waktu sama dengan produk negara kompetitor.
Masyarakat harus memaksimalkan manfaat potensi kreatif bangsa untuk bersaing dengan
bangsa lain
Efektifitas UU ITE Terhadap Tekonologi Informasi
Bila dilihat dari content UU ITE, semua hal penting sudah diakomodir dan diatur dalam UU
tersebut. UU ITE sudah cukup komprehensif mengatur informasi elektronik dan transaksi
elektronik. Mari kita lihat beberapa cakupan materi UU ITE yang merupakan terobosan baru.
UU ITE yang mana mengakui Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum yang sama
dengan tandatangan konvensional (tinta basah dan materai), alat bukti elektronik diakui seperti
alat bukti lainnya yang diatur dalam KUHAP, Undang-undang ITE berlaku untuk setiap orang
yang melakukan perbuatan hukum baik yang berada di wilayah Indonesia maupun di luar
Indonesia, yang memiliki akibat hukum di Indonesia; penyelesaian sengketa juga dapat
diselesaiakan dengan metode penyelesaian sengketa alternatif atau arbitrase. Setidaknya akan
ada sembilan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksana UU ITE, sehingga UU ini
dapat berjalan dengan efektif.
Dampak UU ITE bagi Kegiatan Transaksi Elektronik
UU ITE yang disahkan DPR pada 25 Maret lalu menjadi bukti bahwa Indonesia tak lagi
ketinggalan dari negara lain dalam membuat peranti hukum di bidang cyberspace law. Menurut
data Inspektorat Jenderal Depkominfo, sebelum pengesahan UU ITE, Indonesia ada di jajaran
terbawah negara yang tak punya aturan soal cyberspace law. Posisi negeri ini sama dengan
Thailand, Kuwait, Uganda, dan Afrika Selatan.
Tentu saja posisi itu jauh berada di belakang negara-negara Eropa dan Amerika Serikat.
Bahkan beberapa negara berkembang lainnya, seperti India, Sri Lanka, Bangladesh, dan
Singapura, mendahului Indonesia membuat cyberspace law. Tak mengherankan jika Indonesia
sempat menjadi surga bagi kejahatan pembobolan kartu kredit (carding).
Pengaruh UU ITE
Sekarang kita tahu maraknya carding atau pencurian kartu kredit di internet berasal dari
Indonesia, hal ini memungkinan Indonesia dipercaya oleh komunitas ”trust” internasional
menjadi sangat kecil sekali. Dengan hadirnya UU ITE, diharapkan bisa mengurangi terjadinya
praktik carding di dunia maya. Dengan adanya UU ITE ini, para pengguna kartu kredit di
internet dari negara kita tidak akan di-black list oleh toko-toko online luar negeri. Sebab situs-
situs seperti www.amazon.com selama ini masih mem-back list kartu-kartu kredit yang
diterbitkan Indonesia, karena mereka menilai kita belum memiliki cyber law. Nah, dengan
adanya UU ITE sebagai cyber law pertama di negeri ini, negara lain menjadi lebih percaya atau
trust kepada kita.
Dalam Bab VII UU ITE disebutkan: Perbuatan yang dilarang pasal 27-37, semua Pasal
menggunakan kalimat, ”Setiap orang… dan lain-lain.” Padahal perbuatan yang dilarang seperti:
spam, penipuan, cracking, virus, flooding, sebagian besar akan dilakukan oleh mesin olah
program, bukan langsung oleh manusia. Banyak yang menganggap ini sebagai suatu
kelemahan, tetapi ini bukanlah suatu kelemahan. Sebab di belakang mesin olah program yang
menyebarkan spam, penipuan, cracking, virus, flooding atau tindakan merusak lainnya tetap
ada manusianya, the man behind the machine. Jadi kita tak mungkin menghukum mesinnya,
tapi orang di belakang mesinnya.
sumber:
http://dokumen.tips/documents/dampak-positif-dan-negatif-pemberlakuan-uu-ite.html