Millenium
Development Goals (MDGs) adalah hasil kesepakatan 189 kepala Negara dan
pemerintahan pada pertemuan United Nations Millenium Declaration tahun 2000
yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat di seluruh dunia. Telah dilakukan
revisi pada tahun 2005 dengan 8 target yang harus diupayakan terjadi perubahan
yang berarti pada tahun 2015.
MDG 1: Membasmi kemiskinan dan
kelaparan
MDG 2: Pencapaian pendidikan dasar yang universal
MDG 3: Mempromosikan kesetaraann gender dan pemberdayaan perempuan
MDG 4: Mengurangi Angka Kematian Bayi dan Anak
MDG 5: Memperbaiki kualitas kesehatan maternal
MDG 6: Membasmi penyakit HIV AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya.
MDG 7: Perbaikan lingkungan yang terus menerus
MDG 2: Pencapaian pendidikan dasar yang universal
MDG 3: Mempromosikan kesetaraann gender dan pemberdayaan perempuan
MDG 4: Mengurangi Angka Kematian Bayi dan Anak
MDG 5: Memperbaiki kualitas kesehatan maternal
MDG 6: Membasmi penyakit HIV AIDS, Malaria dan penyakit menular lainnya.
MDG 7: Perbaikan lingkungan yang terus menerus
MDG 8:
Kerjasama global untuk pengembangan
Pada Oktober 2015, target waktu pencapaian delapan poin Tujuan
Pembangunan Milenium (MDGs) akan berakhir. Kini, segala sesuatu harus dilakukan
dengan segera dan cepat dalam kaitan dengan pemberantasan kemiskinan dan
kelaparan, akses terhadap pendidikan dasar dan perbaikan kesehatan, serta
pelestarian lingkungan hidup dan kerja sama global.
Salah satu target terpenting MDGs adalah memangkas jumlah orang miskin menjadi tinggal separuh jumlah yang tercatat pada 1990. Saat itu, persentase jumlah orang miskin mencapai angka 43 persen. Kita patut bersyukur bahwa secara global, target tersebut telah tercapai pada 2010, saat jumlah orang miskin berkurang menjadi 21 persen, sekitar 50 persen dari jumlah pada 1990.
Meski demikian, jumlah tersebut masih terbilang besar. Betapa tidak? Dengan menggunakan angka US$ 1,25 per hari sebagai batas kemiskinan, tercatat hampir 1,2 miliar warga dunia masih berkutat dalam kemiskinan, termasuk 400 juta anak yang masih hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem (data Bank Dunia pada 2013). Apalagi, penyebab pengurangan kemiskinan global terutama adalah perkembangan positif di Asia, khususnya Cina. Di negara itu, selama dua dekade terakhir, ratusan juta orang mengalami peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi.
Sementara itu, gambar positif pengurangan kemiskinan berubah menjadi negatif ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa fenomena kelaparan di dunia semakin luas. Saat ini, sekitar 1 miliar penduduk dunia mengalami kekurangan makanan, meningkat sekitar 2 persen dibandingkan pada 1990. Artinya, target penurunan tingkat kelaparan hingga 50 persen diprediksi tidak akan tercapai.
Beberapa target MDGs lainnya juga belum menunjukkan perkembangan yang membesarkan hati. Janji negara-negara kaya untuk memberikan hibah 0,7 persen dari PDB-nya untuk pencapaian MDGs di negara-negara miskin hanya ditepati oleh beberapa negara Eropa. Angka kematian ibu, penyebaran HIV/AIDS dan malaria, pelestarian hutan, serta akses air bersih dan sanitasi masih jauh dari harapan.
Salah satu target terpenting MDGs adalah memangkas jumlah orang miskin menjadi tinggal separuh jumlah yang tercatat pada 1990. Saat itu, persentase jumlah orang miskin mencapai angka 43 persen. Kita patut bersyukur bahwa secara global, target tersebut telah tercapai pada 2010, saat jumlah orang miskin berkurang menjadi 21 persen, sekitar 50 persen dari jumlah pada 1990.
Meski demikian, jumlah tersebut masih terbilang besar. Betapa tidak? Dengan menggunakan angka US$ 1,25 per hari sebagai batas kemiskinan, tercatat hampir 1,2 miliar warga dunia masih berkutat dalam kemiskinan, termasuk 400 juta anak yang masih hidup dalam kondisi kemiskinan ekstrem (data Bank Dunia pada 2013). Apalagi, penyebab pengurangan kemiskinan global terutama adalah perkembangan positif di Asia, khususnya Cina. Di negara itu, selama dua dekade terakhir, ratusan juta orang mengalami peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi.
Sementara itu, gambar positif pengurangan kemiskinan berubah menjadi negatif ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa fenomena kelaparan di dunia semakin luas. Saat ini, sekitar 1 miliar penduduk dunia mengalami kekurangan makanan, meningkat sekitar 2 persen dibandingkan pada 1990. Artinya, target penurunan tingkat kelaparan hingga 50 persen diprediksi tidak akan tercapai.
Beberapa target MDGs lainnya juga belum menunjukkan perkembangan yang membesarkan hati. Janji negara-negara kaya untuk memberikan hibah 0,7 persen dari PDB-nya untuk pencapaian MDGs di negara-negara miskin hanya ditepati oleh beberapa negara Eropa. Angka kematian ibu, penyebaran HIV/AIDS dan malaria, pelestarian hutan, serta akses air bersih dan sanitasi masih jauh dari harapan.
Bagaimana dengan pencapaian MDGs Indonesia?
BPS mengukur garis kemiskinan dengan penghasilan Rp 300 ribu per orang per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp 250 ribu per orang per bulan untuk penduduk desa. Pengukuran itu sama dengan US$ 1,5-1,6 per orang per bulan dengan patokan kurs, sementara acuan internasional menggunakan patokan tarif pasar. Berdasarkan indikator tersebut, angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen dari jumlah total penduduk. Dibanding pada September 2013, telah terjadi penurunan jumlah orang miskin dari 11,46 persen menjadi 11,25 persen.
Meski demikian, pada saat yang sama, terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75 persen menjadi 1,89 persen. Begitu pula dengan indeks keparahan kemiskinan, yang naik dari 0,43 persen menjadi 0,48 persen (BPS, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia semakin parah karena menjauhi garis kemiskinan, sementara ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar.
Ada tiga hal yang diyakini bisa mengatasi akar masalah kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1-2) di Indonesia, yakni memprioritaskan perluasan kesempatan kerja, meningkatkan kualitas infrastruktur pendukung, dan menguatkan sektor pertanian.
Ihwal pendidikan dasar dan kemelekhurufan, Indonesia tercatat telah mencapai target minimal MDGs, yaitu akses bagi semua anak usia sekolah untuk mengecap pendidikan wajib 6 tahun. Bahkan, lebih dari itu, negeri ini menetapkan pendidikan dasar melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar universal.
Meski demikian, tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDGs pendidikan adalah meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah. Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen-30 persen untuk Aceh dan Papua-dari jumlah anggaran nasional diharapkan berlanjut untuk mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal.
Menjelang berakhirnya time frame pencapaian target MDGs pada 2015, komunitas internasional di bawah PBB mulai mendiskusikan perumusan agenda pembangunan global setelah 2015. Ihwal upaya memformulasi post-2015 development agenda, Indonesia mendukung tersusunnya roadmap bagi intergovernmental process guna menyusun agenda pembangunan setelah 2015 dan berpandangan bahwa agenda dimaksudkan harus dibangun berdasarkan lessons learned (pembelajaran) dan best practices (praktek-praktek terbaik) dalam pelaksanaan MDGs.
BPS mengukur garis kemiskinan dengan penghasilan Rp 300 ribu per orang per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp 250 ribu per orang per bulan untuk penduduk desa. Pengukuran itu sama dengan US$ 1,5-1,6 per orang per bulan dengan patokan kurs, sementara acuan internasional menggunakan patokan tarif pasar. Berdasarkan indikator tersebut, angka kemiskinan di Indonesia pada Maret 2014 mencapai 28,28 juta jiwa atau 11,25 persen dari jumlah total penduduk. Dibanding pada September 2013, telah terjadi penurunan jumlah orang miskin dari 11,46 persen menjadi 11,25 persen.
Meski demikian, pada saat yang sama, terjadi kenaikan indeks kedalaman kemiskinan dari 1,75 persen menjadi 1,89 persen. Begitu pula dengan indeks keparahan kemiskinan, yang naik dari 0,43 persen menjadi 0,48 persen (BPS, 2014). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia semakin parah karena menjauhi garis kemiskinan, sementara ketimpangan pengeluaran penduduk miskin semakin melebar.
Ada tiga hal yang diyakini bisa mengatasi akar masalah kemiskinan dan kelaparan (MDGs 1-2) di Indonesia, yakni memprioritaskan perluasan kesempatan kerja, meningkatkan kualitas infrastruktur pendukung, dan menguatkan sektor pertanian.
Ihwal pendidikan dasar dan kemelekhurufan, Indonesia tercatat telah mencapai target minimal MDGs, yaitu akses bagi semua anak usia sekolah untuk mengecap pendidikan wajib 6 tahun. Bahkan, lebih dari itu, negeri ini menetapkan pendidikan dasar melebihi target MDGs dengan menambahkan sekolah menengah pertama sebagai sasaran pendidikan dasar universal.
Meski demikian, tantangan utama dalam percepatan pencapaian sasaran MDGs pendidikan adalah meningkatkan pemerataan akses secara adil bagi semua anak, baik laki-laki maupun perempuan, untuk memperoleh pendidikan dasar yang berkualitas di semua daerah. Kebijakan alokasi dana pemerintah bagi sektor pendidikan minimal sebesar 20 persen-30 persen untuk Aceh dan Papua-dari jumlah anggaran nasional diharapkan berlanjut untuk mengakselerasi pencapaian pendidikan dasar universal.
Menjelang berakhirnya time frame pencapaian target MDGs pada 2015, komunitas internasional di bawah PBB mulai mendiskusikan perumusan agenda pembangunan global setelah 2015. Ihwal upaya memformulasi post-2015 development agenda, Indonesia mendukung tersusunnya roadmap bagi intergovernmental process guna menyusun agenda pembangunan setelah 2015 dan berpandangan bahwa agenda dimaksudkan harus dibangun berdasarkan lessons learned (pembelajaran) dan best practices (praktek-praktek terbaik) dalam pelaksanaan MDGs.
(sumber: https://www.tempo.co/read/kolom/2014/10/02/1685/Capaian-MDGs-Kita;
http://www.perinasia.com/post/112?title=Analisis+Epidemiologis+Terkini++Millenium+Development+Goals+%28MGDs%29%3A+MDGs+4+dan+MDGs+5+di+Indonesia
)
Pendapat
saya:
MDGS ini
telah dirancang dari tahun 2000. Ini menunjukan bahwa banyak negara ingin
mengalami perubahan yang lebih baik dari sebelumnya seperti Indonesia.
Saya ingin
menanggapi MDGS 2 yaitu Pencapaian Pendidikan Dasar yang Universal.
Pemerintah telah melakukan banyak upaya agar Indonesia tidak “miskin” dalam
pendidikan. Banyak bantuan yang telah diberikan contoh BOS (Bantuan Operasional
Sekolah). Walaupun biaya sekolah ditanggung oleh pemerintah, namun ada
biaya-biaya lain yang masih ditarik oleh sekolah. Beruntung yang bersekolah di
Jakarta karena ada kartu Jakarta Pintar. Namun di daerah-daerah lain, masih
banyak yang kesulitan untuk mengenyam pendidikan. Meskipun target yang
diberikan MDGS sampai sekolah dasar, namun pemerintah mewajibkan sembilan (9) tahun
wajib belajar hingga SMP.
Selain biaya, kurikulum yang sering berubah-ubah juga menjadi faktor
penentu. Mungkin pemerintah menganggap itu yang terbaik bagi para siswa,
sedangkan fakta di lapangan belum menunjukan hal yang lebih baik. Contohnya
saja kurikulum 2013, di tingkat sekolah dasar ada beberapa pelajaran yang
dihilangkan, tingkat SMA, langsung memasuki penjurusan IPA atau IPS yang
biasanya ditentukan saat kelas XI. Selain itu, para guru diwajibkan untuk
mengajar dengan bahasa Inggris, yang belum tentu semua guru bisa melakukan hal
tersebut. Meskipun ada hal positif, yaitu menambah jam belajar siswa. Namun
bagi saya, itu percuma saja, karena sarana dan prasarana tiap sekolah berbeda,
sehingga itu hanya membuat siswa lelah karena hanya mengalami sedikit
perubahan.
Selain itu di tingkat Perguruan Tinggi, biaya kuliah yang setiap tahun
selalu naik. Indonesia telah menyatakan bahwa mendapatkan pedidikan adalah “HAK”
setiap warga negara. Namun pemerintah belum bisa menngani biaya pendidikan, dan
terkadang sarana kampus pun masih banyak yang kurang. Seharusnya pemerintah
bisa lebih bijak lagi dalam menangani keuangan untuk pendidikan di Indonesia
sehingga harga yang dibayar bisa seimbang dengan apa yang diterima oleh
mahasiswa.
Kemudian hasil penelitian yang telah dikembangkan, bisa didukung sehingga
hasil karya anak bangsa jangan selalu diberikan kepada negara lain tapi
didukung terus supaya Indonesia menjadi lebih maju, tidak hanya di perkotaan
tetapi sampai ke desa-desa. Lewat teknologi yang terus dikembangkan, diharapkan
juga bisa membantu untuk bidang-bidang lagi yang ada dalam MDGS seperti
kesehatan terutama angka kematian ibu dan bayi, kelaparan, penyakit,dll.
Selain itu pelestarian lingkungan juga menjadi hal yang patut
diperhatikan mengingat masalah Global Warming yang semakin parah. Diharapkan
banyak negara-negara yang menghasilkan oksigen terbanyak seperti Indonesia
terus berkontribusi dalam pelestarian lingkungan. Pemerintah juga harus tegas
terhadap para penebang liar yang ingin menguasai kehutanan negara kita.
Selain itu masalah kesehatan yang membuat MDGS ini mengalami kemuduran dari tahun 2015 menjadi 2025. Hal ini disebabkan kurangnya kontribusi dari pemerintah daerah terhadap program yang diadakan yaitu BKKBN.
Kesimpulannya yaitu apa yang diprogramkan negara, wajib kita dukung karena masa depan ada di tangan kita. Pemerintah sekarang hanya memfasilitasi saja, tapi ke depannya, Indonesia ada di tangan kita. Dan untuk pemerintah yang baru, program yang baik yang telah dilaksanakan harus dilanjutkan dengan inovasi-inovasi yang baru. Jangan buat negara ini yang telah mengalami kemajuan, malah mundur kembali. Dukunglah perkembangan-perkembangan yang positif sehingga kami anak-anak bangsa bisa semangat dalam mengerjakan tugas kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar